HALUSINASI VERSUS LITERASI

HALUSINASI VERSUS LITERASI
Fenomena aneh bin ajaib munculnya oknum
yang mengatasnamakan kerajaan-kerajaan baru di Indonesia sungguh meresahkan
masyarakat sekarang ini. Banyaknya pengikut dari oknum yang mengaku raja baru
ini membuktikan bahwa literasi masyarakat di Indonesia masih rendah. Oknum yang
memiliki halusinasi tinggi ini mengaku raja baru untuk mempengaruhi orang lain
dengan satu motif yaitu mengumpulkan dana masyarakat. Daa masyarakat yang terkumpul
ini diiming-imingi dengan kembalian yang berlipat ganda sehingga pengikutnya
terbuai juga dengan halusinasi oknum ini. “Kerajaan-kerajaan“ baru yang
bermunculan di Indonesia belakangan ini, yang menjadikan isu tersebut sebagai
alat untuk mendulang keuntungan.
Fenomena kerajaan Sunda Empire, Keraton
Sejagat yang menggemparkan ini, merupakan cerminan lemahnya literasi masyarakat
dalam menyaring infomasi yang berkembang. Mayarakat mudah percaya dengan
informasi yang disampaikan oleh narasumber. Masyarakat belum mampu memilah dan
memilih sumber yang benar dan kredibel yang pantas untuk dipercayai. Oknum yang
mengaku raja ini menyasar masyarakat yang memiliki literasi lemah, berasal dari
golongan menengah ke bawah yang termasuk ke generasi kolonial. Fenomena ini
biasanya dimunculkan oleh orang yang mengalami delusi keagungan (grandiose delusion).
Keberhasilan para penggagas kerajaan
fiktif untuk menggaet pengikut, didukung penguasaan psikologi massa sehingga
mampu mempengaruhi dan meyakinkan orang lain. Cerita-cerita yang disampaikan di
tengah kumpulan massa mampu dikemas secara menarik sehingga membuat hal-hal
yang tidak ada seolah nyata. Kemampuan itu berpeluang menghipnotis banyak orang
memutuskan menjadi pengikutnya
Oknum yang mengaku dirinya raja ini
sekarang lebih menyasar media sosial sebagai langkah strategis untuk
menyebarkan pemahaman halusinasinya. Media sosial seperti fascebook, twitter
dan youtube digunakan oknum tersebut
untuk menunjukkan eksistensinya. Mereka menampilkan narasi-narasi yang terlihat
logis dan runut agar penonton serta warganet menjadi terhanyut dalam halusinasi
mereka. Mereka menampilkan sumber-sumber yang tidak jelas validitas datanya.
Cucoklogipun sering dimainkan agar calon pengikutnya menjadi mudah percaya dan
mau mengikuti apa yang diinginkan oleh oknum raja atau penguasa abal-abal ini.
Adanya kerajaan abal-abal yang meneruk keuntungan
harta maupun suara melalui delusi dan halusinasi sangat bertentangan dengan gerakan
literasi yang sedang digalakan oleh pemerintah. Bangsa yang besar ditandai dengan
masyarakatnya yang literat, yang memiliki peradaban tinggi, dan aktif memajukan
masyarakat dunia. Keberliterasian dalam konteks ini bukan hanya masalah
bagaimana suatu bangsa bebas dari buta aksara, melainkan juga yang lebih
penting, bagaimana warga bangsa memiliki kecakapan hidup agar mampu bersaing
dan bersanding dengan bangsa lain untuk menciptakan kesejahteraan dunia. Dengan
kata lain, bangsa dengan budaya literasi tinggi menunjukkan kemampuan bangsa
tersebut berkolaborasi, berpikir kritis, kreatif, komunikatif sehingga dapat
memenangi persaingan global.
Literasi digital akan menciptakan tatanan
masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis-kreatif. Mereka tidak
akan mudah termakan oleh isu yang provokatif, menjadi korban informasi hoaks,
atau korban penipuan yang berbasis digital. Dengan demikian, kehidupan sosial
dan budaya masyarakat akan cenderung aman dan kondusif. Membangun budaya literasi
digital perlu melibatkan peran aktif masyarakat secara bersama-sama.
Pada era digital ini, penyebaran konten
yang bernuansa halusinasi dapat menjadi ancaman kejahatan digital bagi
masyarakat. Untuk itu masyarakat seyogyanya di edukasi dengan baik mengenai
literasi digital. Selama ini gerakan literasi nasional masih menyasar pada
pendidikan anak usia sekolah. Padahal hakekat literasi seharusnya digerakkan
untuk semua golongan masyarakat baik usia sekolah maupun usia pasca sekolah.
Literasi digital perlu digallakkan dalam rangka melindungi segenap bangsa dan
seluruh tumpah darah Indonesia. Perlindungan digital menjadi penting sebab
telah nyata bahwa kejahatan digital masa kini sudah mengarah kepada
disintegrasi bangsa.
Namun upaya perlindungan terhadap
masyarakat jangan diartikan sedangkal tindakan pemblokiran atau pembatasan media
sehingga terjadi lantensi informasi di masyarakat. Jangan sampai perlindungan
digital ini malah memberangus kehidupan berdemokrasi dalam dunia digital kita.
Pengekakangan yang berlebihan dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah.
Sebaliknya pemerintah perlu menambah
keberpihakan kepeda seluruh komponen masyarakat untuk mewujudkan kemakmuran
berbasis digital. Termasuk pembangunan kota-kota cerdas, peningkatan akses
internet yang lebih masif, dan mendukung inovasi digital dalam rangka
meningkatkan efisiensi tatanan birokrasi dan kesejahteraan masyarakat.
Lalu dimakah letak peranan guru dalam
menggalakkan literasi di era digital ini?. Pertanyaan ini merupakan suatu
pertanyaan besar bagi kaum pendidik untuk mengahadapi tantangan derasnya arus
informasi melalui platform digital. Pendidik sebagai insan perubahan serta
garda terdepan dalam pembangunan sumberdaya manusia maka diharapkan mampu
mengedukasi siswa serta keluarga di rumah untuk lebih mawas diri dan lebih bisa
untuk menyaring informasi di dunia digital.
Literasi seorang pendidik akan kentara
manakala peserta didiknya tidak mudah terkena hoaks, literat dan dapat
menyaring informasi dengan baik dan benar. Guru dituntut untuk terus berpikir
terbuka dan kritis sehingga mampu menhajak peserta didik untuk memilah dan
mengolah informasi menjadi lebih baik untuk mencegah hoaks. Selain itu, langkah
yang harus dilakukan oleh pendidik adalah untuk terus memanfaatkan teknologi
yang ada di dalam pembelajaran.
Teknologi digital harus terus diperkenalkan
oleh guru kepada siswanya sehingga siswa terbiasa menggunakan, mendapatkan dan
mengolah informasi digital dengan baik. Pendekatan pendidikan karakter dalam
pelaksanaan literasi digital sangat penting dilakukan oleh guru. Peran guru
dalam menggalakkan pendidikan karakter untuk memilah berita hoaks kepada siswa
sangatlah penting. Menyelamatkan generasi muda dalam penyebaran hoaks atau
beria bohong.
Literasi digital perlu lebih digalakkan
untuk melandasi tumbuhnya paradigma baru pendidikan yang
cerdas (heutagogi). Berbeda dengan pedagogi dan dan andragogi, heutagogi
berbasis digital memungkinkan semua pemelajar menjadi pengajar. Sebab semua
pemelajar berpeluang untuk memproduksi dan membagikan konten pengetahuan.
Pada paradigma heutagogi, kebenaran bukan
merupakan suatu hegemoni yang mutlak namun harus lebih pada hasil daripada
perdebatan yang akademis dan argumentatif. Pemerintah sebagai pengelola jalur
digital dalam hal ini sebagai penyedia arus informasi, harus sangat terbuka dan
mampu berdialog dalam forum untuk menyuarakan kebenaran secara akademis melalui
media yang ada. Sehingga hoaks dan halusinasi yang dihembuskan oleh oknum-oknum
yang tidak bertanggungjawab menjadi bisa tertangkal dengan ampuh dan efektif.
Thank you for all the tips. I think you should have given links of some best converting landing pages. Please check if it is possible now.
ReplyDeleteCheers!
Code Flare
https://codeflare.net